Kamis, 08 November 2012
Senin, 05 November 2012
Laporan praktikum biokim -- penentuan asam amino dalam sampel
I.
JUDUL
PERCOBAAN : Penentuan Asam Amino dalam Sampel
II.
TANGGAL
PERCOBAAN : 1
Oktober 2012
III. SELESAI PERCOBAAN : 1 Oktober 2012
IV. TUJUAN
:
Menentukan
Asam amino yang terdapat dalam sampel dengan kromatografi kertas.
V.
KAJIAN
TEORI
Protein merupakan
suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena zat ini berfungsi
sebagai sumber energi dalam tubuh serta sebagai zat pembangun dn pengatur.
Protein adlaah polimer dari asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida.
Molekul protein mengandung unsur-umsur C, H, O, N, P, S, dan terkadang
mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno, 1992).
Protein merupakan
suatu polipeptida dengan BM yang sangat bervariasi dari 5000 samapi lebih dari
satu juta karena molekul protein yang besar, protein sangat mudah mengalami
perubahan fisis dan aktivitas biologisnya. Banyak agensia yang menyebabkan
perubahan sifat alamiah dari protein seperti panas, asam, basa, solven organik,
garam, logam berat, radiasi sinar radioaktif (Sudarmadji, 1996).
Struktur asam amino
digambarkan sebagai berikut:
H
H2N
C COOH
R
(Lehninger,
1995).
Apabila
asam amino larut dalam air, gugus karboksilat akan melepaskan ion H+,
sedangkan gugus amina akan menerima ion H+, seperti reaksi berikut:
Oleh
adanya kedua gugus tersebut asam amino dalam larutan dapat membentuk ion yang
bermuatan positif dan juga bermuatan negatif atau disebut juga ion amfoter
(zwitterion). Keadaan ion ini sangat tergantung pada pH larutan. Apabila asam
amino dalam air ditambah dengan basa, maka asam amino akan terdapat dalam
bentuk (I) karena konsentrasi ion OH- yang tinggi mampu mengikat
ion-ion H+ pada gugus –NH3+. Sebaliknya bila
ditambahkan asam ke dalam larutan asam amino, maka konsentrasi ion H+
yang tinggi mampu berikatan dengan ion –COO- sehingga terbentuk
gugus –COOH sehingga asam amino akan terdapat dalam bentuk (II) (Anna
Poedjiadi, 1994).
Gugus
karboksil pada asam amino dapat dilepas dengan proses dekarboksilasi dan
menghasilkan suatu amina. Gugus amino pada asam amino dapat bereaksi dengan
asam nitrit dan melepaskan gas nitrogen yang dapat diukur volumenya. Van Slyke
menggunakan reaksi ini untuk menentukan gugus amino bebas pada asam amino,
peptida maupun protein. (Anna Poedjiadi, 1994).
Struktur protein dapat dibagi menjadi empat bentuk; primer,
sekunder, tersier dan kuartener. Susunan linier asam amino dalam protein
merupakan struktur primer. Susunan tersebut akan menentukan sifat dasar protein
dan bentuk struktur sekunder serta tersier. Bila protein menandung banyak asam
amino dengan gugus hidrofobik, daya kelarutannya kurang dalam air dibandingkan
dengan protein yang banyak mengandung asam amino dengan gugus hidrofil.
(Winarno, 1992).
Protein yang terdapat dalam bahan pangan mudah mengalami
perubahan-perubahan, antara lain:
1. Dapat terdenaturasi oleh perlakuan pemanasan.
2. Dapat terkoagulasi atau mengendap oleh perlakuan
pengasaman.
3. Dapat mengalami dekomposisi atau pemecahan oleh
enzim-enzim proteolitik.
4. Dapat bereaksi dengan gula reduksi, sehingga menyebabkan
terjadinya warna coklat.
Denaturasi protein dapat diartikan suatu
perubahan atau modifikasi terhdap struktur sekunder, tersier dan kuartener
molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovalen. Karena itu denaturasi dapat diartikan suatu proses terpecahnya
ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam dan terbukanya lipatan atau
wiru molekul protein. (Winarno, 1992).
Ada beberapa metode analisis asam amino,
misalnya metode gravimetrik, kalorimetri, mikrobiologi, kromatografi, dan
elektroforesis. Salah satu metode yang paling banyak memperoleh pengembangan
adalah metode kromatografi. Macam-macam kromatografinialah kromatografi kertas,
kromatogrfi lapis tipis, dan kromatografi penukar ion (Poedjiadi, 1994).
Kromatografi kertas, merupakan salah satu jenis
kromatografi partisi, yaitu pemisahan beberapa zat berdasarkan perbedaan
kelarutan dalam dua pelarut yang tidak dapat bercampur. Cara melakukan
pemisahan dengan kromatografi ini cukup sederhana. Campuran beberapa asam amino
sebagai hasil hidrolisis diteteskan sedikit demi sedikit pada kertas
kromatografi pada pada titik tertentu (A) dan kemudian ujung kertas dicelupkan
ke dalam pelarut tertentu. Pelarut ini akan naik berdasarkan proses kapilaritas
dan akan membawa senyawa-senyawa dalam campuran dalam campuran tersebut. Asam
amino yang mudah larut dalam pelarut tertentu itu, misalnya pelarut organik,
akan terbawa naik lebih jauh daripada yang sukar larut. Setelah pelarut
mencapai bagian atas atau garis akhir, kertas diangkat dari pelarut kemudian
dibiarkan kering dengan sendirinya di udara. Dengan proses ini asam-asam amino
akan terpisah satu dengan yang lain, dengan penyemprotan pereaksi ninhidrin
pada kertas kromatografi tersebut kan tampak noda-noda biru yang membuktikan
adanya asam amino yang terpisah itu. Jarak yang telah ditempuh oleh suatu asam
amino tertentu (b), dibandingkan dengan jarak yang ditempuh oleh suatu pelarut
dari garis awal hingga garis akhir (a) diberi lambang Rf. Harga Rfyaitu
b/a merupakan ciri khas suatu asam amino pada pelarut tertentu. Dengan menggunakan
standar asam-asam amino yang telah diketahui macamnya pada kromatografi kertas
seperti yang telah dilakukan di atas, dapat diketahui macam asam amino yang
diperiksa. Penentuan macam asam amino dapat pula dilakukan dengan menghitung
harga Rf asam amino
yang terdapat pada tabel yang ada (Poedjiadi, 1994).
Teknik kromatografi
lapis tipis (KLT) dikembangkan olen Egan Stahl dengan menghamparkan penyerap
pada lempeng gelas, sehingga merupakan lapisan tipis. KLT merupakan
kromatografi serapan, tetapi dapat juga merupakan kromatografi partisi karena
bahan penyerap telah dilapisi air dari udara. Sistem ini segera populer karena
memberikan banyak keuntungan, misalnya peralatan yang diperlukan sedikit,
murah, sederhana, waktu analisis cepat dan daya pisah yang cukup baik. Sebagian
besar dasar teori kromatografi kolom juga dapat diterapkan pada KLT. Konsep
“lempeng teori” lebih sukar digambarkan di sini, tetapi jelaslah bahwa
pemisahan itu dilakukan oleh keseimbangan bermuatan cuplikan dalam dua fasa,
satu diantaranya bergerak terhadap yang lainnya. Terjadi proses penyebaran
molekul cuplikan karena proses nonideal. Derajat retensi pada kromatografi
lempeng biasanya dinyatakan sebagai faktor retensi, Rf
Jarak yang tempuh pelarut dapat diukur dengan
mudah dan jarak tempuh cuplikan diukur pada pusat bercak itu, atau pada titik
kerapatan maksimum. Definisi koefisien distribusi K adalah perbandingan dengan
kadar senyawa tersebut dalam fasa gerak Cm dan kadar senyawa
terlarut dalam fasa diam Cs.
K = Cs /
Cm
Fasa diam
Pada
semua prosedur kromatografi, kondisi optimum untuk sebuah pemisahan merupakan
hasil kecocokan antara fasa diam dan fasa gerak. Dalam KLT, fasa diam harus
mudah didapat, keistimewaan KLT adalah lapisan tipis fasa diam dan kemampuan
pemisahannya.
Fasa gerak
Pada
proses serapan, yang terjadi jika menggunakan silika gel, alumina dan fasa diam
lainnya, pemilihan pelarut mengikuti aturan kromatografi kolom serapan. Jika
fasa gerak digunakan sistem pelarut campuran, pada fase diam susunan pelarut
itu dapat mengalami perubahan sedikit demi sedikit. Suatu pendekatan yang
menarik terhadap penggunaan campuran azeotrop, misalnya metanol – aseton (12 :
88), metanol – benzena (31,7 : 68,3) metanol – sikloheksana – metilasetat (17,8
: 33,6 : 48,6) hal ini mempengaruhi kualitas pemisahan dan kedapat – ulangnya
adalah kejenuhan bejana pengembang (Soedjadi, 1988)
Kromatografi adalah suatu metode analitik untuk pemurnian
dan pemisahan senyawa-senyawa organik dan senyawa anorganik. Metode ini berguna
untuk fraksionasi campuran kompleks dan pemisahan suatu senyawa-senyawa yang
sejenis. Pada tahun 1941, Martin dan Synge mengembangkan kromatografi partisi,
sedangkan Gordon menemukan kromatografi kertas. Kromatografi partisi terutama
dilakukan pada kromatografi kertas (Khopkar, 1984).
Dalam semua teknik kromatografi, zat terlarut yang akan
dipisahkan bermigrasi sepanjang suatu kolom (atau sepanjang seperti dalam
kromatografi kertas atau lapisan tipis, padanan fisika dari suatu kolom), dan
tentu saja dasar pemisahan terletak dalam berbeda-bedanya laju dari migrasi
untuk zat terlarut yang berlainan. Kitadapat membayangkan migrasi dari zat yang
terlarut sebagai suatu resultan dua faktor, satu cenderung untuk menggerakkan
zat terlarut, dan yang lain untuk menghambatnya (Day dan Underwood. 2002).
Dalam proses Tsweet yang orisinil, kecenderungan zat
terlarut untuk teradsorbsi pada fase padat menghambat laju gerakan, sementara
kelarutan dalam fase cair yang bergerak cenderung menggerakkan mereka bersama
fase itu. Suatu beda sangat kecil antara dua zat terlarut dalam hal keteguhan
adsorpsi dan dalam interaksinya dengan zat terlarut yang bergerak menjadi dasar
pemisahan bilamolekul-molekul zat terlarut itu berulang-ulang didistribusikan
antara kedua fase tersebut sepanjang kolom. Fase stasioner atau diam dapat
berupa zat padat atau cairan, sedangkan fase geraknya dapat berupa cairan atau
gas (Day dan Underwood. 2002).
TLC digunakan untuk memantau kemajuan reaksi dan untuk
mengenali komponen tertentu. Teknik ini sering dilakukan dengan lempengan gelas
atau plastik yang dilapisi fase diam. Fase gerak cair adalah pelarut. Campuran
yang akan dianalisis diteteskan pada dasar lempengan, dan pelarut akan bergerak
naik oleh gaya kapiler (Bresnick, 2004).
Reaksi ninhidrin yang digunakan untuk mendeteksi dan
menduga asam amino secara kuantitatif dalam jumlah kecil. Pemanasan dengan
ninhidrin berlebih menghasilkan produk berwarna ungu pada semua asam amino yang
mempunyai gugus α amino bebas, sedangkan produk yang dihasilkan oleh protein
berwarna kuning, karena pada molekul ini terjadi substitusi gugus α amino. Pada
kondisi yang sesuai intensits warna yang dihasilkan dapat dipergunakan untuk
mengukur asam amino secara kolorimetrik. Metode ini amat sensitif bagi
pengukuran konsentrasi asam amino (Lehninger, 1982).
VI. ALAT DAN BAHAN
1. Alat
a. Kertas
kromatografi
b. Labu
pemisah
c. Pipa
kapiler
d. Gelas
kimia besar
e. Botol
semprot
f. Oven
g. Pipet
2. Bahan
a. Asam
asetat glasial
b. n-butanol
c. aquades
d. larutan
asam amino standar
e. HCl
pekat
f. Larutan
sampel
I.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Pada awalnya praktikum Pemisahan Asam Amino
dalam Sampel, dibuat larutan pengemulsi (fasa gerak) dengan 25 mL larutan
n-Butanol jernih tak berwarna ditambah 6 mL larutan asam asetat glasial jernih
tak berwarna. Lalu ditambahkan akuades
25 mL jernih tak berwarna menghasilkan larutan dengan gelembung dan sedikit
keruh. Lalu dijenuhkan kedalam chamber agar eluen jenuh karena eluen mudah
menguap maka eluen langsung ditutup dengan kaca berbentuk segiempat.
Larutan
Sampel B jernih tak berwarna diteteskan ke kertas kromatografi 4 cm x 12 cm
dengan jarak 1 cm (batas bawah). larutan ujung ada pada 0,5 cm dipinggir
kertas. Tiap tetesan larutan B harus dikeringkan sebelum tetesan berikutnya
diletakkan diatasnya. Diupayakan diameter tetesan tidak lebih dari 0,4 cm dan
digunakan pinset. Lalu kertas kromatografi yang sudah ditetesi dengan larutan
B, dijenuhkan dengan uap eluen dan dielusi. Lalu dikeluarkan dengan jika eluen
mencapai batas atas, dan dikeringkan. Kertas kromatografi disemprotkan larutan
ninhidrin dan dimasukkan ke oven selama 5 menit dengan suhu 1000C.
Lalu didapatkan jarak noda sampel 1,1 cm dan jarak yang ditempuh pelarut 5,5
cm, sehingga didapatkan nilai Rf :
Larutan
Lisin jernih tak berwarna, Sistein jernih tak berwarna dan Tyrosin jernih tak
berwarna diteteskan ke kertas kromatografi 4 cm x 12 cm dengan jarak 1 cm
(batas bawah). Larutan ujung ada pada 0,5 cm dipinggir kertas. Tiap tetesan
Larutan Lisin jernih tak berwarna, Sistein jernih tak berwarna dan Tyrosin
jernih tak berwarna harus dikeringkan sebelum tetesan berikutnya diletakkan
diatasnya. Diupayakan diameter tetesan tidak lebih dari 0,4 cm dan digunakan
pinset. Lalu kertas kromatografi yang sudah ditetesi dengan larutan B,
dijenuhkan dengan uap eluen dan dielusi. Lalu dikeluarkan dengan jika eluen
mencapai batas atas, dan dikeringkan. Kertas kromatografi disemprotkan larutan
ninhidrin dan dimasukkan ke oven selama 5 menit dengan suhu 1000C.
Lalu didapatkan jarak noda Lisin 0,3 cm, jarak noda Sistein 1,5 cm, jarak noda
Tyrosin 4 cm dan jarak yang ditempuh pelarut 5,8 cm, sehingga didapatkan nilai
Rf masing-masing :
Rf sampel sebesar 0,2 mendekati Rf sistein
sebesar 0,25 sehingga dapat ditentukan bahwa sampel adalah asam amino Sistein
dari peninjuan nilai Rf.
II.
KESIMPULAN
Dari praktikum “Pemisahan Asam Amino dalam Sampel” dapat
disimpulkan bahwa Rf sampel sebesar 0,2 adalah asam amino Sistein yang memiliki
Rf = 0,25.
III.
DAFTAR PUSTAKA
Bresnick, S.,
2004, Intisari Kimia Organik,
Hipokrates, Jakarta
Day, R. A. Jr
dan Underwood, A. L., 2002, Analisis
Kimia Kualitatif, Edisi
keenam, Erlangga, Jakarta
Hart, H., 2003, Kimia Organik: suatu kuliah
singkat, Erlangga, Jakarta
Khopkar, S.M.,
1984, Konsep Dasar Kimia
Analitik, UIP, Jakarta
Lehninger.A.L,
1995. Dasar-Dasar Biokimia. Erlangga,
Jakarta
Patong, R.,
2007, Penuntun Praktikum
Biokimia, Universitas Hasanuddin, Makassar
Poedjadi, A.,
1994, Dasar-dasar Biokimia, UI-Press,
Jakarta
Soedjadi, 1988, Metode pemisahan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Sudarmadji, S.,
Haryono, B., Suhardi, 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.
Penerbit Liberty: Yogyakarta.
Tim Dosen Kimia
Biokimia. 2012. Penuntun Praktikum
Biokimia. Surabaya: Unesa Press
Winarno, F. G.,
1992. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit Gramedia: Jakarta.
IV. JAWABAN
PERTANYAAN
1. Apa
keuntungan dan kerugian dari metode pemisahan dengan kromatografi kertas?
Jawab : keuntungannya
antara lain adalah proses pemisahan asam amino dengan menggunakan kromatografi ini dinilai sangat menghemat
waktu, praktis dan tidak mahal. Karena kertas kromatografi yang digunakan
adalah kertas kromatografi sederhana . Kerugiannya adalah kurang efektif
untuk mendapatakan nilai Rf , karena kesulitan membaca noda sampel yang
diuji. Dan untuk memudahkan membaca noda sampel harus dioven dulu.
2. Apakah
metode kromatiografi kertas dapat digunakan untuk analisa kuantitatif ?
Jawab :
Ya, karena perhitugan Rf tidak hanya sebagai analisa kualitatif, namun
juga dapat dianalisa secara kuantitatif dengan membuat perbandinga linear
melalui grafik yang dihubungkan dengan sampel satu dengan yang lainnya.
3. Faktor
apa saja yang mempengaruhi nilai Rf?
Jawab : faktor yang
mempengaruhi nilai Rf antara lain konsentrasi sampel, jumlah dan cara penotolan
sampel, dan kejenuhan chamber atau ekuen yang digunakan.